Biografi Soekarno dan Perjuangannya
Biografi Soekarno |
1. Kelahiran Seokarno Soekarno dilahirkan pada tanggal 6 Juni 1901 M dan bertepatan pada tanggal 18 Safar 1831 H., beliau dilahirkan pada hari Kamis Pon dalampenanggalan Jawa. Ia dilahirkan di desa Lawang Sekaten Surabaya.[1] Soekarno dilahirkan saat fajar mulai menyingsing sehingga ayahnya menganggap bahwa anaknya sebagai “sang fajar” yang dilahirkan dalam abad Revolusi Kemanusiaan. Soekarno meninggal dunia pada hari Minggu tanggal 21 Juni 1970 di Rumah Sakit Angkatan Darat (RSPAD) Jakarta. Beliau dishalatkan di Wisma Yaso Jakarta dan dimakamkan di daerah kelahirannya, Blitar Jawa Timur di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah RI menganugerahkan Soekarno sebagai Pahlawan Proklamasi.[2]
Keyakinan ayahandanya tersebut, merupakan sesuatu yang didasarkan pada pengalaman empirik dalam kehidupan masyarakat priyayi Jawa yang cenderung mistik dan teosofi. Kondisi tersebut menjadi sesuatu yang biasa dalam pemahaman kraton. Suatu kejadian akan dihubungkan dengan kejadian alam di sekitarnya. Namun apakah kebetulan atau memang sesuai pengamalaman emprik, tapi yang pasti dalam kehidupan Soekarno ternyata menjadi orang yang paling berpengaruh dan disegani baik di dalam maupun luar negeri. Soekarno meyakini, bahwa adanya persamaan tanggal dan bulan kelahirannya, yakni sama-sama angka enam (6), akan membawa pengaruh pada pola pemikirannya yaitu ;
a. Ia akan mampu berada di antara semua kelompok di Indonesia. Maksudnya ialah Soekarno akan selalu menempatkan dirinya pada dua ekstrem dan antara dua ujung. Sikap ini tentunya didasarkan pada keinginan Soekarno untuk menciptakan keselarasan (harmony) kesatuan dan toleransi beragama (unity and religious tolarence) yang sesuai dengan sifat kejawaan yang menjadi latar belakang kehidupan keluarganya. Atas dasar itu pula, ia selalu berusaha mencari keselarasan dari berbagai bentuk aliran pemikiran baik dalam skala nasional maupun internasional yang saling bertentangan antara satu sama lain.
b. Sikap berada diantara dua ujung tersebut dapat dilihat dari sikap radikal dan konservatifnya dalam memandang masalah. Pada satu masalah, Soekarno dapat dikelompokkan sebagai orang radikal, namun dalam hal lain ia mampu bersikap dan berbuat konservatif. Keberadaannya tersebut bukan berarti ia tidak memiliki sikap, akan tetapi karena permasalahan yang dihadapi manusia dalam pandangan Soekarno harus dilihat dari sisi rasional bukan emosional dan kepentingan golongan atau partai politik. Bahkan tidak menutup kemungkinan dengan kedua-duanya atau hanya salah satu dari keduanya. Tetapi semuanya membutuhkan kearifan dan keputusan yang bijaksana, sehingga tidak mencederai hati masyarakat banyak.[3] Pandangan Soekarno di atas, menurut hemat penulis adalah sikap yang dilakukan Soekarno dalam merancang dirinya menjadi penguasa. Maka sandaran yang digunakan adalah mencari sesuatu yang bisa dijadikan landasan. Hanya faktor penanggalanlah yang bisa dijadikan sandarannya walaupun bukan prinsip dan tidak ilmiah. Tetapi penanggalan tersebut sering dihubungkan dalam tata kehidupan masyarakat Jawa. Soekarno pada awal kelahirannya diberi nama Kusno Sosrodihardjo.[4] Namun karena ia sering sakit, maka ketika beliau berumur lima tahun namanya diubah menjadi Soekarno.[5] Nama tersebut diambil dari cerita pewayangan yakni seorang panglima perang dalam kisah Perang Bharata Yudha yaitu Karna. Nama "Karna" menjadi "Karno" karena dalam bahasa Jawa huruf "a" berubah menjadi "o" sedangkan awalan "su" memiliki arti "baik".[6]
Menurut hemat penulis, kebiasaan masyarakat Jawa yang cenderung percaya dengan cerita pewayangan akan selalu menghubungkan penamaannya dengan tokoh-tokoh dalam cerita tersebut. Apalagi harapan besar orangtuanya terhadap Soekarno, sebagaimana harapan dari semua orangtua terhadap anak-anaknya yang lebih maju dan berkembang di kemudian hari. Nama Soekarno berubah ketika menjadi Presiden R.I., ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya, nama tersebut menggunakan ejaan penjajah Belanda. Namun Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah, sedangkan nama akrab untuk Soekarno adalah Bung Karno.[7] Memang sesuatu yang lazim antara tuntutan perubahan dengan histroris. Menurut penulis, keinginan Soekarno menulis dengan menggunakan ejaan Sukarno adalah sesuatu yang sulit dipertanggungjawabkan karena kembali pada nilai egoeisme masing-masing individu. Disatu sisi ia ingin merubah nama dan disisi lain terbentur dengan data historis dalam teks Proklamasi Kemerdekaan RI yang juga ingin ia pertahankan. Di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis dengan penambahan nama Achmed menjadi Ahmed Soekarno. Hal ini terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-tanya, "Siapa nama kecil Soekarno" karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian masyarakat di Indonesia yang hanya menggunakan satu kata saja atau tidak memiliki nama keluarga. Seseorang lalu menambahkan nama Achmed di depan nama Soekarno. Hal ini terjadi di beberapa Wikipedia, seperti wikipedia bahasa Ceko, wikipedia bahasa Wales, wikipedia bahasa Denmark, wikipedia bahasa Jerman, dan wikipedia bahasa Spanyol.[8] Soekarno menyebutkan bahwa nama Achmad, ia peroleh ketika beliau menunaikan ibadah haji. Sementara dalam beberapa pendapat lain berbeda, bahwa pemberian nama Achmad di depan nama Soekarno, dilakukan oleh para diplomat muslim asal Indonesia yang sedang melakukan misi luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan negara Republik Indonesia oleh negara-negara Arab.[9]
Upaya para diplomat tersebut berhasil, sehingga Negara Mesir yang pertama menyatakan pengakuan atas kedaulatan kemerdekaan Indonesia. Bahkan Mesir pulalah yang mendesak PBB untuk mengakui kedaulatan kemerdekaan negara Indonesia. Namun para penulis sejarah mengemukakan bahwa Soekarno memiliki nama lengkap ialah Koesno Sosro Soekarno, ayahnya bernama Raden Soekeni Sosrodihardjo. Ia adalah seorang keturunan bangsawan Jawa kelas priyayi.[10] Raden Soekeni Sosrodihardjo adalah salah satu dari delapan putera Raden Harjodikromo. Ia memperoleh pendidikan keguruan di Probolinggo. Pada diri Raden Soekeni Sosrodihardjo terdapat tiga unsur campuran pemikiran, yaitu pendidikan Barat, Islam, dan faham teosofi.[11]
Faham teosofi inilah menurut penulis yang berkembang dalamkehidupan kebanyakan masyarkat Jawa dimana mereka memeluk Islamtetapi cenderung berbau keyakinan terhadap benda-benda yang memiliki kelebihan. Termasuk di dalamnya adalah R. Soekemi Sosrodihardjo. Setelah menyelesaikan sekolah guru (kweekschool) Raden Soekeni Sosrodihardjo memperoleh tugas sebagai tenaga pengajar (guru) di Sekolah Rakyat (SR) di Singaraja Bali. Di samping itu, Raden Soekeni Sosrodihardjo bekerja sebagai asisten peneliti Prof. Van Der Tuuk. Prof. Van Der Tuuk adalah seorang ahli bahasa Indonesia yang sudah lama menetap di Indonesia, tepatnya di daerah Tapanuli Sumatera.[12] Di Bali, Raden Soekeni Sosrodihardjo tertarik kepada seorang gadis dan kemudian menikahinya. Gadis tersebut bernama Idayu Nyoman Rai Sariben. Idayu Nyoman Rai Sariben adalah seorang puteri Bali keturunan Brahmana yang tinggal di Balai Agung Singaraja Bali. Namun pernikahan Raden Soekeni Sosrodihardjo dengan Idayu tidak mendapat restu orang tua Idayu, karena :
a. Raden Soekeni Sosrodihardjo bukanlah orang dan memiliki garis keturunan atau darah Bali walaupun Raden Soekeni Sosrodihardjo memiliki garis keturunan bangsawan.
b. Raden Soekeni Sosrodihardjo seorang penganut agama Islam sedangkan Idayu dan keluarganya penganut agama Hindu Bali.
c. Tingkat perbedaan status sosial diantara keduanya, yakni Raden Soekeni Sosrodihardjo keturunan Bangsawan Jawa kelas priyayi, sedangkan Idayu dari Kasta Brahmana Bali, yakni kasta tertinggi dalam penganut ajaran agama Hindu Bali.[13]
Namun perkawinan itu dapat terlaksana setelah Raden Soekeni Sosrodihardjo memutuskan untuk membawa kawin lari Idayu Nyoman Rai Sariben dan Raden Soekeni Sosrodihardjo harus membayar denda senilai 25 ringgit atas perbuatanya tersebut. Kisah keras sikap ayahandanya kepada keluarga dari pihak ibunya ini, sering diceritakan oleh Ida Ayu kepada dua anaknya yaitu Sukarmini yang kemudian lebih dikenal dengan Ibu Wardoyo dan Kusno Sosro Soekarno yang kemudian dikenal dengan nama Soekarno.[14] Idayu Nyoman Rai Sariben menyatakan bahwa Soekarno akan dapat mengambil beberapa hikmah dan cerita pengalaman orang tuanya untuk Soekarno dalam menata masa yang akan datang, yaitu :
a. Soekarno hidup dari lingkungan kebudayaan Jawa. Hal ini membawa pengaruh tentang konsep budaya jawa pewayangan. Kebudayaan Jawa membentuk perkembangan Islam di Jawa berwujud pada pola sinkretis dan puritan. Sinkretis ialah penyatuan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu dan Islam, sedang puritan ialah yang berusaha mengikuti peraturan Islamdengan taat.[15]
b. Konflik keluarga dari pihak ibunya, yakni antara anak dengan bapaknya yang berpangkal pada sentimen kedaerahan dan agama. Konflik-konflik seperti ini menimbulkan benih-benih pertentangan antar kelompok sosial dan lebih jauh dapat memecah belah integrasi suatu bangsa dan negara.[16] Membaca pernyataan di atas, Soekarno lahir dari perpaduan antara bangsawan kelas priyayi dan keluarga Brahmana yang taat beribadah, sehingga memiliki kultur dan kepercayaan terhadap mistik Jawa yang kuat. Kebudayaan Jawa membentuk perkembangan Islam di Jawa yang berwujud pada pola sinkretis dan puritan.[17]
Oleh sebab itu, menurut penulis bahwa kondisi ini sangat berpengaruh bagi pola pikir Soekarno di masa datang dalam menentukan sikap dan kebijakan serta persoalan-persoalan yang muncul dalam persoalan-persoalan agama, bahkan dalam persoalan untuk memecahkan masalah-masalah negara. Hal tersebut tentunya bisa kita lihat dalam perkembangan kebijakan- kebijakannya. Menurut John Legge, banyak yang meragukan asal-usul keluarga Soekarno terutama dari garis keturunan ayah karena kelebihan yang dimiliki Soekarno seperti keberhasilannya masuk ke sekolah tehnik tinggi (THS) di Bandung yang tidak mungkin dicapai orang pegawai rendahan.[18]
Soekarno memperoleh pelajaran dari pembantu rumah tangga mereka “Sarinah”. Sarinah memberi pesan kerakyatan pada pola pemikiran Soekarno. Sarinah pernah berkata kepada Soekarno : “Karno, yang terutama harus engkau cintai adalah ibumu, akan tetapi engkau jangan lupa harus pula mencintai rakyat jelata, engkau harus mencintai umat manusia pada umumnya”.[19] Untuk mengenang jasa Sarinah, Soekarno menulis sebuah buku yang berjudul Sarinah yang ditertibkan pertama kali pada tahun 1947 oleh penerbit Oesaha Penerbit Goentoer.[20] Buku ini menurut penulis sangat popular di kalangan pendidik di Indonesia karena menggambarkan sikap hormat dan tata ketimuran Soekarno. Soekarno tertarik pada Sunan Kalijaga, bahkan ia mengaku memiliki garis keturunan dari ayahnya. Sunan Kalijaga adalah seorang diantara walisanga yang berhasil menyebarkan agama Islam di Jawa dengan memadukan penyiaran Islam dengan kebudayaan pra-Islam melalui wayang. [21] Menurut hemat penulis, hubungan nasab antara Soekarno dengan Sunan Kalijaga lemah, karena sulit untuk membuktikannnya, bahkan Soekarno sendiri tidak pernah membuat struktur keturunannya. Padahal salah satu cara untuk membuktikannya dengan membuat struktur nasab atau family. Bernard Dahm berpendapat bahwa untuk memahami jalan pikiran Soekarno tidak dapat dilepaskan dari tokoh kesayangannya dalam cerita pewayangan yang ada dalam masyarakat Jawa. Tokoh ini bernama Bima dan Pandawa. Tokoh ini tidak mengenal kompromi dengan orang yang tidak bisa menerima kerangka pemikirannya, tetapi sebaliknya bisa bekerja sama dengan orang yang mau menerima pemikirannya, sungguhpun kualitas penerimaan itu berbeda-beda.[22]
2. Pendidikan Formal Soekarno Pada perjalanan pendidikan, Soekarno diminta oleh kakeknya di Tulung Agung Jawa Timur Selatan untuk mengenyam pendidikan dan meringankan beban ekonomi Raden Soekeni Sosrodihardjo. Pada tahun 1907 Soekarno masuk Sekolah Dasar atau pada masa itu disebut dengan Sekolah Rakyat (SR) di Tulung Agung bersama kakeknya.[23]Namun pada waktu ia Sekolah Rakyat, ia bukanlah termasuk murid yang rajin, walaupun bukan termasuk murid yang bodoh, akan tetapi ia kurang berminat untuk belajar di sekolah tersebut. Di samping itu, Soekarno tidak pernah menghapal pelajaran sekolah dengan baik. Bahkan ia lebih sering menghapal cerita pewayangan terutama cerita perang Baratayuda.[24]
Raden Soekeni Sosrodihardjo pindah dari Surabaya ke Sidoardjo, kemudian pindah lagi ke kota Mojokerto. Sementara itu, kedudukan ayah Soekarno naik dari guru biasa menjadi Mantri Guru (Kepala Sekolah) di Sekolah Rakyat Ongko Loro yang terdiri dari dua tahun masa ajaran dan diperuntukkan khusus untuk orang-orang Bumiputera. Setelah orang tuanya pindah, Soekarno kembali bergabung dan berada di bawah asuhan langsung kedua orang tuanya di Mojokerto.[25] Pada tahun 1908, Soekarno masuk Sekolah Dasar di HIS, kemudian tahun 1913 melanjutkan ke Europesche Legore School (ELS) di Mojokerto yang ia selesaikan pada tahun 1916.[26] Raden Soekeni Sosrodihardjo mendidiknya dengan disiplin tinggi, sehingga walaupun Soekarno telah duduk di meja belajar selama berjam-jam, namun tetap saja ayahnya menyuruhnya untuk belajar membaca dan menulis. Hal tersebut dilakukan orang tua Soekarno, sebab orang tuanya memiliki keyakinan bahwa anaknya kelak akan menjadi orang yang sangat penting dan sangat disegani.[27]
Usaha orang tua Soekarno berhasil, sehingga Soekarno termasuk murid yang menonjol. Soekarno nampak mulai gemar belajar bahasa, menggambar dan berhitung. Bahkan Soekarno ikut les pelajaran tambahan yakni pelajaran bahasa Prancis dan dalam waktu singkat ia fasih dalam berbahasa tersebut.[28] Namun menurut hemat penulis, rancangan orang tua Soekarno tidak sesuai dengan tantangan dan kondisi yang dihadapinya. Ia belajar bahasa Prancis, sementara ia menghadapi pendidikan berbahasa Belanda. Kondisi ini tentunya tidak relevan, apalagi kalau melihat kesulitan-kesulitan yang dihadapinya di sekolah yang akan ia tempuh. Pada tahun 1914, Soekarno kelas lima dan tiba saatnya untuk menjalani tahap pendidikan yang direncanakan orang tuanya, yakni untuk melanjutkan ke sekolah dasar berbahasa Belanda.[29]
Namun pada saat akan mendaftarkan puteranya, Raden Soekeni Sosrodihardjo dihadapkan pada persoalan kemampuan bahasa Belanda Soekarno. Setelah wawancara dengan Kepala Sekolah, Soekarno diterima sebagai murid, namun karena kemampuan bahasa Belandanya dinyatakan kurang untuk ukuran kelas enam di sekolah tersebut. Ia diterima di kelas yang lebih rendah. Soekarno protes, karena merasa malu duduk di bawah kelompok umurnya. Untuk mengatasi masalah tersebut, Raden Soekeni Sosrodihardjo mengurangi umur Soekarno satu tahun. Dengan demikian umur Soekarno bukan tiga belas tahun melainkan dua belas tahun ketika mendaftarkan diri di sekolah tersebut dan diterima di kelas lima.[30] Soekarno mampu menyelesaikan pendidikannya selama dua tahun.[31] Upaya yang dilakukan R. Soekemi untuk anaknya, menurut hemat penulis adalah sesuatu yang keliru. Karakteristik anak akan terbangun dengan tidak baik dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Pembinaan karakter ini akan melembaga dan menjadi kebiasaan di masa yang akan datang. Selama di sekolah dasar, Soekarno mulai mengamati adanya perlakuan diskriminasi yang dilakukan oleh para guru Belanda terhadap anak-anak Belanda dengan anak-anak pribumi. Kondisi ini memicu rasa kebencian Soekarno terhadap sikap dan perlakuan Belanda, bertambah pula karena dengan keadaan ekonomi orang tuanya yang susah. Bahkan yang dialami oleh seluruh bangsa Indonesia.[32]
Sikap diskriminatif Belanda ini menurut hemat penulis, tentunya menjadi sikap alamiah yang akan membawa perubahan dalam kekritisan Soekarno di masa yang akan datang. Pengalaman empirik ini pula yang kemudian memunculkan gagasan Soekarno tentang anti imperialisme Indonesia dalam pidato-pidatonya dan sikap Indonesia di mata dunia. Setelah menempuh Europesche Legore School (ELS) di Mojokerto, Soekarno dikirim orang tuanya untuk melanjutkan studinya ke Hogere Burger School (HBS) di Surabaya pada tahun 1916, Menurut Bernard Dahm, walaupun perbedaan ras tidak begitu menonjol di sekolah menengah ini, namun dari sedikitnya siswa-siswa bumi putera yang berhasil masuk sekolah ini, tergambar betapa sulitnya kesempatan bagi masyarakat bumiputera untuk mengenyam pendidikan sebagaimana pendidikan yang diperoleh orang-orang Belanda.[33]
Pada tanggal 10 Juni 1921, Soekarno menyelesaikan sekolahnya di HBS Surabaya, dan ia berniat meneruskan pendidikannya di Negeri Belanda, sebagaimana kecenderungan para pelajar pada waktu itu. Namun keinginannya tersebut tidak tercapai karena tidak diijinkan oleh orang tuanya, terutama oleh ibunya.[35] Pada minggu akhir bulan Juni 1921, Soekarno mulai memasuki kota Bandung dan mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di Sekolah Tinggi Teknik atau Tachnishe hoge School (THS) Bandung dan pada tanggal 25 Mei 1928 dan ia memperoleh gelar Insinyur Teknik.[36] Soekarno mendapat gelar Doctor Honoris Causa dari 26 universitas di dalam maupun di luar negeri. Selain dari universitas terkemuka di Indonesia seperti Universitas Gajah Mada, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjadjaran, Universitas Hasanuddin dan Institut Agama Islam Negeri Jakarta, juga dari perguruan tinggi di mancanegara. Di antaranya, Columbia University (Amerika Serikat), Berlin University (Jerman), Lomonosov University (Moscow), Al-Azhar University (Cairo). Berbagai bidang keilmuan menunjukkan luasnya wawasan Soekarno. Tidak hanya dalam Ilmu Teknik, tapi juga dalam Ilmu Sosial dan Politik, Ilmu Hukum, Ilmu Sejarah, Filsafat dan Ilmu Ushuluddin.[37] Menurut hemat penulis, kemampuan akademik dan kebijakan- kebijakan politiknya membuat detak kagum, sehingga dunia akademik mengakuinya. Bahkan dunia internasional pun mengakui akan kehebatannya sehingga Indonesia menjadi negara bebas dan diperhitungkan.
Sumber:
[1]Ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa Lawang Sekaten berada di wilayah Blitar dan bukan Surabaya/ untuk leih jelas lihat http://ngoceh.us/menu/read/618
[2] Badri Yatim, Soekarno Islam dan Nasionalisme, (Jakarta : Inti Aksara : 1985) hlm. 5. Lihat Juga T. B., Simatupang, Antara Citra dan Fakta, dalam Aristides Katoppo (ed.), 80 Tahun Bung Karno, (Jakarta : Sinar Harapan ; 1982), hlm. 27. Ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa Lawang Sekaten berada di wilayah Blitar dan bukan Surabaya/
3 Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, jilid pertama cet. ke dua. Loc. cit., hlm., 410.
4 Peter Kasenda, Soekarno Muda: Biografi Pemikiran 1926-1933, (Jakarta. : Komunitas Bambu : 2010) hlm. 11.
5 Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. (Jakarta : Gunung Agung :1984), hlm. 35-36
6 Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, jilid pertama cet. ke dua. Loc. cit., hlm., 410.
7 Ibid., hlm., 37
8 Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Loc. cit, hlm. 37.
9 Cindy Adams,. Soekarno, an autobiography as told to Cindy Adams. (New York:The Bobs Merry l Company Inc : 1965), hlm. 33.
10 Ongkokham, Soekarno : Mitos dan Realitas, dalam Taufiq Abdullah, et al, (ed), Manusia Dalam Kemelut Sejarah, (Jakarta : LP3ES : 1981), hlm. 30. Lihat juga Nurinwa Ki S. Hendrowinoto, Ayah Bunda Bung Karno R.. Soekeni Sosrodihardjo dan Nyoman Rai Srimben, (Jakarta : Yayasan Bibliografi Indonesia ; 2002), hlm. 17.
11 Helena Petrovna Blavatsky, Kunci Pembuka Ilmu Theosofi, Op. cit., hlm., 1-2.
12 Menurut John Legge, sekalipun agama Hindu Bali tidak menganut sistem kasta yang rumit seperti di India, namun pada saat itu belum menjadi kebiasaan seorang gadis Bali kawin dengan orang luar Bali J. D. Legge, Soekarno, Sebuah Geografi Politik, Terj. Tim PSH, (Jakarta ; Sinar harapan : 1985), hlm. 20.
13 Ibid., hlm. 27.
14 Ibid,, hlm., 20.
15 Kontjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Seri Etnograpi Indonesia No. 2, (Jakarta; P.N. balai Pustaka, 1984) hlm. 310. Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, jilid pertama cet. ke dua. Loc. cit., hlm., 410.
17 Ibid., hlm., 309.
18 J. D. Legge, Soekarno, Sebuah Geografi Politik, Loc. cit , hlm. 20
19 S. Saitul Rahim, Bung Karno Masa Muda, seperti dituturkan oleh Ibu Wardoyo Kakak Kandung Bung Karno Kepada Wartawan S. Saiful Rahim, (Jakarta: Pustaka Yayasan Antar Kota, 1978), hlm.17.
20 Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, jilid pertama cet. ke dua. Loc. cit., hlm., 410.
21 J. D. Legge, Soekarno, Sebuah Geografi Politik, Loc. cit , hlm. 22.
22 Bernard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, Loc. cit., hlm. 150.
23 Tamar Djaya, Soekrno Hatta Ada Persamaan dan Perbedaannya, (Jakarta : Sastra Hudaya : 1983), hlm. 28.
24 J. D. Legge, Soekarno, Sebuah Geografi Politik, Loc. cit , hlm. 21.
25 Ibid., hlm. 22.
26 Tamar Djaya, Soekrno Hatta Ada Persamaan dan Perbedaannya, Loc. cit., hlm. 30.
27 Cindi Adam, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Loc. cit. hlm., 32.
28 Solihin Salam, Soekarno Sebagai Manusia, Loc. cit., hlm., 24.
29 Ibid., hlm. 22.
30 Ibid., hlm., 26.
31 Cindi Adam, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Loc. cit hlm., 32.
32 J. D. Legge, Soekarno, Sebuah Geografi Politik, Loc. cit , hlm. 21
33 Bernard Dahm, Bernard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, Loc. cit., hlm., 27
34 Ibid., hlm., 29.
35 J. D. Legge, Soekarno, Sebuah Geografi Politik, Loc. cit , hlm. 21
36 Sagimun, Perlawanan dan Pengasingan Pejuang Nasioal, (Jakarta : Idayu : 1986), hlm. 149. untuk lebih jelas lihat Ingleson, John, Jalan Ke Pengasingan, Pergerakan Nasional Indonesia tahun 1927-1934, Terj. Zamakhsari Dhofier, (Jakarta ; LP3ES. : 1983), hlm. 150.
37 http://www.gentasuararevolusi.com/index.php/biografi.html