Makalah Hukum Antar Tata Hukum Hukum Antar Waktu
Makalah Hukum Antar Tata Hukum Hukum Antar Waktu |
1.1 LATAR BELAKANG
Istilah hukum antara tata hukum (HATAH) diperkenalkan oleh ahli hukum perdata internasional Indonesia Soedargo Gautama. HATAH yang pada awalnya kemunculannya [1] dihajatkan untuk menyelesaikan persoalan hukum yang timbul sebagai kebijakan hukum Belanda yang membagi golongan penduduk menjadi tiga golangan berdasarkan Stablad No… yang membagi golongan penduduk di Hindia Belanda menjadi tiga golongan yaitu golongan Eropa, Timur Asing, dan Pribumi. Pembagian tersebut berimbas pada berlakunya sistem hukum yang berbeda pada tiga kelompok tersebut.
Golongan Uni Eropa berlaku hukum belanda, Timur asing berlaku hukum.. dan Pribumi berlaku hukum islam dan hukum adat. Ketiga golongan penduduk tersebut pada kenyataanya tidaklah memisahkan diri untuk tidak melakukan hubungan hukum yang bersifat keperdataan, justru sebaliknya seering terjadinya hubungan keperdataan yang menyebabkan belakunya sistem hukum yang berbeda diantara penduduk Hindia Belanda pada waktu itu. Pada titik ini kemudian dibutuhkan HATAH yang akan mengurai dan menyelesaikan persoalan hukum yang berbeda.
Pada perkembangannya setelah Indonesia merdeka , pemerintah Indonesia meninggalkan politik hukum pembagian penduduk berdasarkan pada tiga golongan di atas. Sebagai negara yang baru merdeka Indonesia mengambil politik pengakuan terhadap setiap penduduk didasarkan pada prinsip kesetaraan dan non-dikriminasi baik rasial maupun diskriminimasi yang bersifat status hukum. Politik hukum yang demikian menyebabkan HATAH menjadi tidak relevan lagi untuk dibicarakan karena penduduk indoensia berhimpun menjadi satu warga negara yang hidup dibawah satu sistem hukum nasional Indonesia.
kendati demikian kondisi hukum nasional Indonesia mengalami pluralism hukum ,khususnya hukum dibidang kekeluargaan dan kewarisan yang tumbuh sejak zaman penjajahan telah mengalami kondisi pluralism hukum, pada saat yang sama pada bidang ini berlaku hukum islam, hukum adat dan hukum perdata BW Belanda. Pada kondisi ini HATAH kemudian dibutuhkan untuk menyelesaikan persoalan hubungan perdata antar warga negara yang berbeda agama dan hukum adat di Indonesia.
Soedargo Gautama memberikan definisi HATAH sebagai keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel-hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan atau peristiwa-peristiwa antar warga (negara) dalam suatu negara, memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidahkaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan kuasa waktu, tempat,pribadi dan soal. [2]
Setelah Indonesia merdeka interaksi antar warga negara Indonesia tidak hanya terbatas sesame WNI dan lingkup yurisdiksi Indonesia, tetapi berinteraksi dengan berbagai WNA baik yang berdomisili Indonesia maupun WNI yang berdomisili di luar negeri. bahkan hubungan itu tidak hanya dilakukan oleh perorangan, tetapi juga korporasi.
Dengan demikian hubungan hukum menjadi sangat kompleks. Pada titik tertentu norma hukum untuk menyelesaikan konflik antar tata hukum yang berbeda tersebut tidak cukup hanya diselesaikan dengan stelsel satu tata hukum semata, tetapi melibatkan berbagai sistem hukum yang berbeda. Hubungan hukum itu tidak cukup lagi hanya mengandalkan hukum nasional Indonesia, tetapi juga akan bersinggungan dengan hukum negara lain. Soedargo Gautama kemudian menempatkan hukum tata hukum sebagai rezim hukum yang lebih luas dibandingkan dengan hukum yang mengkaji perselisihan hukum.
Hukum antar tata hukum kemudian terbagi menjadi dua cabang kajian yaitu HATAH yang bersifat internal dan HATAH eksternal. HATAH internal berusaha mengkaji dan menyelesaikan persoalan hukum yang berkaitan dengan warga negara Indonesia yang hidup dalam wilayah yurisdiksi Indonesia, tetapi dalam sistem hukum Indonesia terdapat beberapa sistem hukum yang hidup secara bersamaan yaitu hukum adat, hukum islam, dan hukum positif. Sedangkan HATAH eksternal berusaha mengkaji persoalan-persoalan keperdataan yang mengandung aspek asing (foreign element) yang melibatkan orang asing dan badan hukum asing, yang dalam kajian ilmu hukum dikenal dengan Hukum Perdata Internasional.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Makalah ini akan merumuskan mengenai Hukum Antar Waktu
1.3 TUJUAN PENULISAN
1. Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Antar Tata Hukum
2. Mengetahui lebih dalam mengenai Hukum Antar Waktu
3. Menambah wawasan mengenai Hukum Antar Waktu
4. Mengetahui bagaimana kasus Hukum Antar Waktu di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN HAW
Sebelum istilah HATAH hadir di Indonesia, terlebih dahulu telah ada istilah conflict of law Private International Law dan . Berbagai keberatan atas istilah-istilah tersebut di atas mendorong Profesor Sudargo Gautama mencari istilah yang lebih tepat. Istilah itu adalah Hukum Antar Tata Hukum, dengan mengikuti istilah ”interlegal law” dari Alf Ross atau ”Interrechtsordenrecht” dari Logemann dan ”tussenrechtsordening” dari Resink.
Dengan istilah HATAH ini kesan konflik tidak terlihat, dan justru memberikan kesan bahwa terdapat ”Tata Hukum” di antara sistem-sistem hukum yang bertemu pada satu waktu tertentu. Beliau membagi HATAH ke dalam HATAH INTERN, yang meliputi, Hukum Antar Waktu, Hukum Antar Tempat, Hukum Antar Golongan termasuk Hukum Antar Agama, dan HATAH EKSTERN, yaitu HPI.
HATAH INTERN didefinisikannya sebagai ”Keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara warga (warga) dalam satu negara, memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidahkaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan kuasa waktu, tempat, pribadi dan soal-soal”.
Dari definisi tersebut terlihat sifat ”intern” dari HATAH ini, yaitu hubunganhubungan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi hanya antara sesama warga negara. Tidak ada unsur asing. Hukum Antar Waktu adalah beliau definisikan sebagai ”Keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara warga (warga) negara dalam satu negara dan satu tempat memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelselstelsel dan kaidah-kaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan kuasa waktu dan soalsoal.”
2.2 BATASAN HAW
Hukum Antar Waktu atau disebut juga sebagai Hukum Peralihan termasuk ke dalam bagian dari hukum Perselisihan disebabkan materi atau obyek hukum ini berkisar pada adanya ‘perselisihan atau perbedaan’ masa berlakunya suatu perundang-undangan, yaitu perubahan dari peraturan lama ke peraturan baru. Hukum Antar Waktu dengan demikian dapat juga diartikan sebagai hukum yang berlaku untuk suatu periode atau masa peralihan sebagai akibat dari adanya perubahan perundang-undangan dari yang lama ke yang baru yang mengatur suatu topik atau masalah tertentu.
Lazimnya, hukum antar waktu tercantum atau terdapat dalam bagian akhir suatu perundang-undangan, yaitu pada bagian yang dinamakan ‘Ketentuan Peralihan’ atau ada juga yang menempatkannya dalam ‘Ketentuan Penutup’. Sebagai contoh misalnya pemerintah di tahun 1992 mengundangkan UU Hak Merek yang mengatur antara lain segala sesuatu tentang proses dan prosedur permohonan dan pemberian hak merek. Seseorang kemudian mengajukan permohonan hak merek ke kantor Merek di Departemen Kehakiman di bulan juni 1997.
Ternyata di bulan juli 1997 pemerintah mengeluarkan UU Hak Merek yang baru yang memuat ketentuan tentang proses permohonan hak merek yang berbeda dengan apa yang diatur dalam UU tahun 1992, padahal permohonan dari orang tersebut belum dikabulkan.
Pertanyaan sederhananya adalah berdasarkan peraturan hukum yang mana permohonan merek dari seseorang yang diajukan bulan juni 1997 dan hingga bulan juli 1997 belum selesai diproses itu harus diselesaikan? Apakah permohonan itu akan tetap di proses sesuai UU yang lama, ataukah harus di ubah total sesuai dengan aturan yang baru? Contoh fiktif diatas banyak sekali bermunculan dan tidak terbatas dalam hubungan-hubungan hukum perdata saja melainkan juga dalam hubungan hukum publik, seperti misalnya hukum mana yang harus diberlakukan terhadap suatu perbuatan hukum pidana bila terjadi perubahan hukum pidananya, atau kasus-kasus di bidang hukum perpajakan, dan hubungan-hubungan hukum antara pemerintah dan warganya sehubungan dengan proses pemberian izin seperti izin usaha, izin bebas gangguan lingkungan, dll.
Pada prinsipnya, Hukum Antar Waktu mengenal beberapa asas hukum yang menjadi pedoman untuk menentukan hukum mana yang berlaku bila terjadi perubahan perundang-undangan dari yang lama ke yang baru. Beberapa asas itu adalah :
1. bila terjadi perubahan peraturan dari yang lama ke yang baru maka yang kemudian berlaku adalah perundang-undangan yang baru itu. Hal ini telah menjadi semacam asas hukum umum yang berlaku diberbagai tempat dan di kenal dengan adagium”lexposterior derogat priori”.
2. sesuai dengan prinsip “leges posteriores priores contarias abrogant” maka perundang-undangan lama demi hukum akan gugur sepanjang isinya bertentangan dengan perundang-undangan yang baru.
3. pembuat hukum atau perundang-undangan dapat menentukan bahwa sebelum perundang-undangan yang baru dinyatakan efektif mulai berlaku, ada masa atau periode waktu tertentu dimana peraturan lama masih dinyatakan masih berlaku. Periode seperti inilah yang dimaksud dengan periode peralihan, dan ketentuan yang menetapkan hal itu disebut ketentuan peralihan.
4. bahwa sesuatu perundang-undangan tidak mempunyai daya berlaku surut (refroaktif). Maksudnya, sesuatu perundang-undangan setelah disahkan dan diundangkan baru dapat diberlakukan untuk masa kedepan, yang umumnya terhitung mulai tanggal peraturan itu diberlakukan.
2.3 SKEMA HAW
Bahwa sebelum menyusun skema HAW, terlebih dahulu dijelaskan tentang makna-makna Hukum dalam HATAH. Dikemukakan oleh para ahli bahwa tiap norma Hukum mempunyai empat lingkungan kekuatan atau ( ) berlakunya Hukum ini yaitu :
a. Lingkungan kuasa waktu, disingkat dengan Letter W(The Sphere of Time atau Temporal Sphere), artinya tiap norma mempunyai lingkungan kuasa waktu.
b. Lingkungan kuasa tempat, disingkat dengan Letter (Material Sphere atau Sphere of Space), artinya tiap norma mempunyai lingkungan kuasa tempat.
c. Lingkungan kuasa pribadi atau lingkungan kuasa orang, disingkat dengan Lettter P (Personal Sphere), artinya tiap norma mempunyai lingkungan kuasa pribadi.
d. Lingkungan soal-soal disingkat dengan Letter S (Material Sphere), artinya tiap norma mempunyai lingkungan kuasa soal-soal. Jadi tiap-tiap norma Hukum berlaku untuk waktu tertentu. Mengenai tempat tertentu, mengenai orang-orang pribadi tertentu, jaga mengenai soal-soal tertentu tiaptiap kaidah Hukum mempunyai empat maam lingkungan, artinya kaidah-kaidah tersebut harus bekerja dalam jangka waktu yang mana harus bekerja untuk pribadipribadi atau orang-orang mana dan harus mengatur soal-soal tersebut.
Jadi ( ) sudah memahami mengenai perumusan HAW, maka dapat dijelaskan suatu skema (Gambaran) dari HAW, yaitu waktunya berbeda, tetapi tempatnya adalah bersamaan, pribadinya juga berbeda, dan soal-soal berbeda pula. Contoh konkritnya sudah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang pokok-pokok perkawinan.Sebelum Undang-Undang ini berlaku, maka perkawinan beda agama dibolehkan, tetapi ( ) berlakunya Undang-Undang tersebut perkawinan campuran beda agama tidak diperbolehkan, disini peranan ketentuan peralihan sangat besar sekali gunanya untuk memberikan kepastian Hukum kepada para pihak. Jadi Skema HAW adalah sebagai berikut :
SKEMA
HAW W W TT P P S S
2.4 CONTOH HAW
Terkait dengan praktik Hukum Antar Waktu dapat dilihat contoh di bidang hukum perkawinan, yakni pada Pasal 64 UU No. 1 Tahun 1974 terdapat ketentuan peralihan yakni segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang yang baru ini berlaku, yang dijalankan menurut peraturan peraturan lama, merupakan perkawinan yang sah.[3]
Contoh Hukum Antar Waktu yang berkaitan dengan Hukum Perkawinan sebelum diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974 dan setelah diundangkannya Undang-Undang tersebut tidak memicu munculnya konflik hukum berkenaan dengan Hukum Antar Waktu, sebab dalam UU No. 1 Tahun 1974 sudah diberikan dasar hukum yang kuat dalam ketentuan peralihan. Contoh lain Hukum Antar Waktu dapat dikemukakan batas umur untuk menikah tanpa izin orangtua. Telah terjadi perkawinan antara sepasang muda-mudi keturunan Tionghoa di Jakarta pada tanggal 5 Februari 1975.
Pengantin wanita berumur 23 tahun, dan pengantin laki-laki berumur 28 tahun. Perkawinan tersebut rupanya telah dilakukan tanpa restu kedua orangtua. Orangtua pengantin wanita, karena tidak setuju dengan perkawinan itu, mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri agar perkawinan itu dibatalkan dengan alasan batas umur untuk menikah tanpa izin orangtua menurut KUHPerdata, sebagai hukum yang berlaku bagi keduanya adalah 30 (tiga puluh) tahun.
Kedua pengantin berdalih bahwa dengan telah diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada tanggal 2 Januari 1974 yang menyatakan batas umur menikah tanpa izin orangtua adalah 21 tahun, maka keberatan orangtua tersebut harus ditolak. Dalam kasus ini hakim mengabulkan permohonan orangtua dan membatalkan perkawinan tersebut dengan alasan bahwa benar UU No.1 Tahun 1974 telah diundangkan, tetapi UU tersebut masih belum berlaku. UU No.1 Tahun 1974 baru berlaku setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu pada tanggal 1 April 1975, sedangkan perkawinan telah berlangsung sebelum keluarnya Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Dengan demikian pada saat perkawinan dilangsungkan batas umur yang berlaku untuk perkawinan tanpa izin orangtua adalah 30 tahun, sesuai dengan ketentuan dalam KUHPerdata
Berkenaan dengan praktik hukum pertanahan Pasal 58 UU No. 5 Tahun 1960 mengatur bahwa selama peraturan-peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini belum terbentuk, maka peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis mengenai bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hak-hak atas tanah yang ada pada mulai berlakunya Undang-Undang ini, tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang ini serta diberi tafsiran yang sesuai dengan itu. Sehubungan dengan potensi munculnya masalah Hukum Antar Waktu, Pasal 58 UU No. 5 Tahun 1960 tersebut hanya memberikan aturan sejauh tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang ini.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Hukum Antar Waktu atau disebut juga sebagai Hukum Peralihan termasuk ke dalam bagian dari hukum Perselisihan disebabkan materi atau obyek hukum ini berkisar pada adanya ‘perselisihan atau perbedaan’ masa berlakunya suatu perundang-undangan, yaitu perubahan dari peraturan lama ke peraturan baru. Hukum Antar Waktu dengan demikian dapat juga diartikan sebagai hukum yang berlaku untuk suatu periode atau masa peralihan sebagai akibat dari adanya perubahan perundang-undangan dari yang lama ke yang baru yang mengatur suatu topik atau masalah tertentu.
Lazimnya, hukum antar waktu tercantum atau terdapat dalam bagian akhir suatu perundang-undangan, yaitu pada bagian yang dinamakan ‘Ketentuan Peralihan’ atau ada juga yang menempatkannya dalam ‘Ketentuan Penutup’. Terkait dengan praktik Hukum Antar Waktu dapat dilihat contoh di bidang hukum perkawinan, yakni pada Pasal 64 UU No. 1 Tahun 1974 terdapat ketentuan peralihan yakni segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang yang baru ini berlaku, yang dijalankan menurut peraturanperaturan lama, merupakan perkawinan yang sah.
DAFTAR PUSTAKA
[1 ] Soedargo Gautama, Hukum Antar Tata Hukum, (Bandung , Almuni,1995), hlm.30
[2 ] hlm. 34
[3] Soedargo Gautama, Hukum Antar Tata Hukum, (Bandung , Almuni,1995), hlm.6