Masih Pake Bahasa Daerah Jaman Sekarang Berarti Ga Gaul Dan Norak

 

Masih Pake Bahasa Daerah Jaman Sekarang Berarti Ga Gaul Dan Norak

Penulis : Maulidiya Shalsabila El-Farah

Nalar Rakayat, Yogyakarta, Fenomena anak muda Indonesia yang tidak mau menggunakan bahasa daerah dan lebih memilih menggunakan bahasa gaul bukanlah hal yang baru. Bahkan anak muda saat ini sering kali menganggap “keren” berbicara dalam bahasa yang lebih modern atau tren dibandingkan menggunakan bahasa daerah yang dianggap “ketinggalan jaman”. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Apa yang membuat generasi muda saat ini malu menggunakan bahasa daerah, meskipun bahasa daerah itu adalah warisan budaya yang kaya dan memiliki akar kuat dalam identitas mereka masing-masing?

Indonesia adalah negara yang memiliki lebih dari 700 bahasa daerah, yang masing-masing daerahnya memiliki kekayaan budaya, sejarah, dan filosofi hidup yang cukup mendalam. Namun, sebagai akibat dari arus globalisasi yang sangat pesat saat ini, banyak bahasa-bahasa daerah yang mulai terpinggirkan. Salah satu alasan utama mengapa generasi muda saat ini cenderung menghindari dan tidak ingin menggunakan bahasa daerah adalah karena mereka merasa bahwa menggunakan bahasa daerah bisa membuat mereka dianggap "kampungan" atau tidak gaul.

Perubahan ini terjadi karena pengaruh budaya populer yang datang dari luar negeri, terutama dari media sosial, film, dan musik. Bahasa gaul yang sering digunakan di kalangan anak muda dianggap lebih modern dan “up-to-date”. Para anak muda akan merasa lebih dihargai dan diterima oleh teman sebaya ketika berbicara dengan gaya bahasa yang lebih kekinian. Di sisi lain, jika mereka berbicara dalam bahasa daerah seringkali dianggap tidak keren, kuno, atau bahkan “kampungan banget” bagi sebagian orang yang berkonotasi negatif.

Bahasa daerah juga seringkali dianggap membatasi ruang sosial karena penggunaannya lebih dibatasi pada lingkungan tertentu, seperti rumah atau tempat asal. Kata ini dipandang sebagai tanda bahwa seseorang masih “terkekang” oleh tradisi mereka. Kebanyakan anak muda merasa bahwa berbicara dalam bahasa daerah membuat mereka terkesan kurang 'gaul' atau ketinggalan jaman. Tidak dapat disangkal bahwa globalisasi dan media sosial berperan sangat besar dalam perubahan ini. Di era digital yang berubah dengan cepat, bahasa gaul yang berkembang di dunia maya, khususnya melalui platform seperti TikTok, Instagram, dan Twitter, telah menjadi tren yang sangat mempengaruhi pola komunikasi anak muda.

Di dunia maya, berkomunikasi menggunakan bahasa gaul dianggap sebagai bagian dari identitas anak muda yang modern, mengikuti tren, dan mengikuti apa yang sedang populer saat ini. Hal itu terjadi karena adanya pengaruh media sosial luar negeri, khususnya budaya pop Barat, bahasa gaul yang digunakan anak muda seringkali mengandung unsur bahasa Inggris, bahasa gaul, bahkan campuran dari berbagai bahasa yang ada.

Di banyak tempat, terutama di kota-kota besar terdapat keinginan yang sangat kuat untuk dapat “bergaul” dengan kelompok yang dianggap lebih keren atau modern. Oleh karena itu, bahasa daerah diduga menjadi salah satu faktor yang membuat seseorang terlihat berbeda dari orang lain. Kalangan muda yang cenderung sangat sensitif terhadap penilaian sosial mereka khawatir penggunaan bahasa daerah akan dianggap 'terlalu kuno' atau bahkan 'ketinggalan jaman'

Selain itu, terdapat ketakutan lainya mengenai penggunaan bahasa daerah, ketakutan akan diejek atau dikucilkan oleh teman sebaya mereka. Misalnya, berbicara bahasa daerah di kalangan anak muda perkotaan dianggap “mencolok” dan sering dianggap aneh. Hal ini berlaku jika bahasa lokal sangat berbeda dengan bahasa yang digunakan di kota-kota besar. Mereka yang tetap menggunakan bahasa daerah mungkin akan merasa tersisih atau bahkan diejek oleh teman sebaya lainya.

Dalam konteks ini, bahasa daerah tidak hanya dianggap sebagai bahasa yang tidak gaul, tetapi juga bisa menimbulkan rasa minder karena dianggap sebagai simbol dari status sosial yang lebih rendah. Kebanyakan anak muda yang berasal dari daerah tertentu mungkin merasa bahwa bahasa daerah mereka akan membuat mereka terlihat “kampungan” jika dibandingkan dengan anak anak lainya yang lebih fasih berbahasa Indonesia atau bahkan bahasa Inggris.

Namun, ada harapan bahwa dengan kesadaran budaya yang semakin berkembang, banyak anak muda yang mulai kembali menghargai bahasa daerah mereka. Beberapa komunitas bahkan telah memulai gerakan untuk melestarikan bahasa daerah dengan memanfaatkan berbagai platform digital dan media sosial yang ada. Beberapa dari mereka juga mulai menyadari bahwa menggunakan bahasa daerah bukan berarti tidak "gaul" justru ini adalah bentuk kebanggaan mereka terhadap warisan budaya yang tak ternilai harganya.

Perubahan dalam cara anak muda berkomunikasi memang dipengaruhi oleh banyak faktor, mulai dari pengaruh globalisasi, media sosial, hingga keinginan untuk tampil kekinian. Bahasa gaul yang lebih universal dianggap lebih modern dan diterima di banyak kalangan, sementara bahasa daerah seringkali dianggap sebagai simbol dari keterbelakangan atau

 "kampungan". Namun, penting bagi kita untuk tidak melupakan bahwa bahasa daerah adalah bagian dari kekayaan budaya yang harus kita jaga dan lestarikan bersama.

Next Post Previous Post