Sanitasi Buruk dan Pernikahan Dini Pemicu Stunting dan Lemahnya Ketahanan Pangan di Aceh


Penulis
: Ibnu Febriyan (Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa)

Nalar Rakyat, Opini - Aceh menghadapi tantangan besar dalam isu ketahanan pangan, stunting, dan kualitas hidup masyarakat. Sebagai provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi kelima di Indonesia, Aceh mencerminkan kompleksitas masalah yang melibatkan rendahnya akses pangan bergizi, buruknya sanitasi, hingga tingginya angka pernikahan dini. Ketiga faktor ini saling berkaitan, menciptakan lingkaran kemiskinan dan kesehatan yang sulit diputus.  

Rendahnya akses terhadap air bersih dan sanitasi yang layak menjadi masalah mendasar. Banyak masyarakat Aceh, terutama di pedesaan, masih bergantung pada air sungai dan sumur resapan yang kualitasnya tidak baik untuk kesehatan. Selain itu, kesadaran masyarakat terhadap kebersihan dan perilaku hidup sehat masih sangat rendah jika dibandingkan dengan provinsi lain. Akibatnya, buang air besar sembarangan masih terjadi di banyak tempat, seperti sungai atau kebun, yang meningkatkan risiko penyakit menular dan turut memengaruhi kondisi kesehatan anak-anak.

Masalah ini diperburuk oleh lemahnya pengelolaan sampah di Aceh, yang jauh dari kata ideal. Buruknya infrastruktur sanitasi dan rendahnya akses air bersih menjadi penyebab tidak langsung yang signifikan dan sangat mempengaruhi terjadinya kenaikan angka stunting. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan dengan sanitasi buruk lebih rentan terhadap infeksi saluran pencernaan, yang menghambat penyerapan nutrisi dan berdampak pada tumbuh kembang mereka.  

Meski demikian, ada secercah harapan. Pada 2023, Banda Aceh berhasil menurunkan angka stunting sebesar 3,4%. Ini menunjukkan bahwa perubahan positif dapat dicapai melalui kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga kesehatan. Namun, keberhasilan ini harus diperluas dan diperkuat ke seluruh wilayah Aceh, terutama daerah-daerah terpencil yang aksesnya terhadap pangan dan layanan kesehatan masih sangat terbatas.  

Selain sanitasi, pernikahan dini juga menjadi salah satu akar permasalahan tingginya stunting di Aceh. Tingginya angka pernikahan di usia muda, terutama di wilayah pedesaan, menyebabkan banyak ibu muda belum memiliki kesiapan fisik, mental, maupun pengetahuan gizi yang cukup. Hal ini berdampak langsung pada pola asuh anak, asupan gizi, serta rendahnya kepercayaan terhadap pentingnya imunisasi dan layanan kesehatan.  

Untuk memutus siklus ini, program pemberdayaan seperti Generasi Berencana (GenRe) perlu diperluas dan diperkenalkan kepada masyarakat. Program ini dapat memberikan edukasi tentang pentingnya menunda usia pernikahan untuk merencanakan kehidupan yang matang guna melahirkan generasi yang sehat dan tumbuh kembang yang sesuai dengan usia,  serta perencanaan keluarga yang baik. 

Di sisi lain, pemerintah perlu memperbaiki distribusi pangan dan membangun infrastruktur yang lebih baik untuk menjangkau daerah-daerah terpencil. Peningkatan daya beli masyarakat melalui program-program ekonomi lokal juga penting agar setiap rumah tangga dapat membeli pangan bergizi. Selain itu, edukasi tentang pentingnya gizi, pola makan sehat, dan pola asuh yang benar harus terus digencarkan, terutama bagi ibu muda.  

Aceh memiliki potensi besar untuk menjadi wilayah yang mandiri pangan dan sehat secara keseluruhan. Namun, hal ini membutuhkan komitmen bersama dari semua pihak. Dengan perbaikan sanitasi, pemberdayaan masyarakat, dan upaya kolaboratif yang berkelanjutan, Aceh dapat mengatasi tantangan ketahanan pangan dan menurunkan angka stunting, menciptakan masa depan yang lebih sehat bagi generasi mendatang.  


Next Post Previous Post